Senin, 14 Juni 2010

“Sikap Politik” NU dalam Pemilukada

“Sikap Politik” NU dalam Pemilukada
Oleh : Khoirul Huda,S.Ag
Dalam setiap pelaksanaan pilkada, NU selalu menjadi perhatian utama berbagai pihak. Bukan hanya pada peran NU dalam mengawal pelaksanaan pilkada yang lebih berkualitas, tetapi sorotan tajam juga pada NU karena dukungannya pada salah satu kandidat. Terlebih lagi maraknya elit-elit NU termasuk pemimpinnya yang mencalonkan diri sebagai orang nomor satu maupun kedua, yang tentu akan menarik-narik NU (baca; institusi) dalam arus utama politik praktis.
Terlebih lagi pengaruh kultur politik dalam lingkungan NU sendiri cukup kuat. Sejarah panjang NU sebagai partai politik yang sangat disegani oleh rival politiknya, masih mewariskan pengaruh politik yang cukup kuat dan mendasar hingga sekarang. NU dan politik seperti satu kesatuan yang utuh tidak akan bisa dipisahkan satu sama lain. Seiring dengan apa yang pernah dilontarkan oleh KH A Wahab Chasbullah sebagaimana yang dikutip Allan A Samson dalam Karl D Jackson & Lucian W Pye (Eds), Political Power and Communications in Indonesia (1978), bahwa Islam dan politik seperti gula dan manisnya.
Tentu bukan politik praktis sebagaimana layaknya partai politik, karena NU sudah memutuskan untuk kembali ke khittah NU Tahun 1926. Ibarat kereta sudah jelas rel yang harus dilalui. Sayangnya, konsistensi NU dalam mengikuti “rel” khittah NU masih belum sepenuh hati, tanpa disadari sering kali keluar rel yang menyebabkan munculnya masalah baru. Politik kebangsaan dan konsep “rahmatan lil alamin” yang menjadi konsep dan agendanya belum maksimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Justru NU terlihat masih malu-malu ketika berhadapan dengan manuver politik praktis, sama malu-nya pada posisi hubungan NU dengan partai politik termasuk PKB yang nota bene dilahirkan oleh tokoh-tokoh harismatik NU. Sikap tegas NU pada gerakan politik praktis masih terlihat sangat abu-abu. Safari politik yang dilakukan elit-elit NU dalam memberikan dukungan politik pada salah satu kandidat masih jadi tradisi politik yang belum bisa dihindari. Membuktikan betapa NU masih senang bermain dalam wilayah yang penuh kontroversi, meskipun dukungan politik itu sesama kader.
Belum lagi sistem di luar lingkungan yang membawa daya tarik politik yang lebih kuat. Pragmatisme politik yang semakin kuat mempengaruhi para aktivis dan ormas seiring dengan agenda demokrasi yang lebih mengutamakan suara publik. Tidak heran jika Pilkada dan dinamika politik lokal juga semakin kencang menyeret NU yang nota bene sebagai ormas islam dengan massa yang sangat besar.
Namun demikian, harus juga diakui bahwa langkah NU selama ini masih terlihat cantik dalam mengarungi dua kepentingan besar yang bertarung, antara independensi dengan ruang politik praktis. Gaya elit NU jauh dari kesan “kampungan” yang selama ini dipraktekkan oleh para rent seeker dan kelompok pragmatisme. Di samping itu, perbedaan orientasi politik yang terbentuk, tidak membuat NU membangun jarak dengan pihak yang punya ideologi berbeda. NU tetap merawat kebersamaan dengan semua pihak, menumbuhkan kesadaran publik akan pentingnya kebersamaan dalam mengawal keluarga besar bernama Indonesia. Tetap konsisten dalam membangun kesadaran individual (wa’yul-fardiyyah), kesadaran komunal (ukhuwwah nahdliyyah, ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah islamiyyah) sampai pada kesadaran universal (ukhuwwah insaniyyah) demi kepentingan bangsa. Tidak heran jika NU tetap disegani oleh berbagai kalangan. Menjadikannya tidak pernah kehilangan kedawasan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk memahami persoalan secara menyeluruh dan mencarikan alternatif solusi atas kompleksitas problem yang hadir.
Menyikapi Pelaksanaan Pilkada
Pelaksanaan pilkada yang merupakan ekspresi dari proses penguatan sistem demokrasi harus terus berjalan, tidak boleh berhenti di tengah jalan, apalagi harus dikembalikan pada sistem lama, sebagaimana ide beberapa kalangan. Realitas pelaksanaan pilkada yang mengalami banyak penyimpangan, turut mempengaruhi “kegagalan” pilkada dalam memenuhi harapan masyarakat, sebagaimana tujuan sejatinya memberikan kepuasan politik dalam konteks demokratisasi.
Tetapi bagaimanapun juga proses pilkada sekarang ini masih tetap lebih baik dari pada sebelumnya. Dukungan yang sangat besar dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk tokoh-tokoh agama sekalipun. Banyaknya masalah yang terjadi pada pilkada tidak harus membuat kita cepat menarik kesimpulan, dan menganggap pilkada dan gerakan demokratisasi sangat kontraproduktif dengan harapan publik.
Realitas tersebut mengharuskan NU sebagai salah satu kekuatan civil society bertugas memberikan pencerdasan politik dan penguatan sumber daya ekonomi masyarakat melalui serangkaian agenda pemberdayaan. NU juga harus mendorong pelaksanaan demorkasi yang lebih berkualitas, dan meyakinkan kepada berbagai pihak bahwa demorkasi adalah pilihan yang tepat. Karena akhir-akhir ini banyak pihak yang menyangsikan urgensi demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Perjalan panjang demokrasi, mulai dibangun sejak reformasi tahun 1998 sampai sekarang ini demokrasi belum memberikan kesejahteraan pada masyarakat. NU harus mampu menegaskan kepada public bahwa gerakan demokrasi sebagai pilihan bersama, tidak boleh lagi mundur kemudian digantikan dengan sistem lainnya yang belum tentu cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia. Apalagi sampai mengebiri hak-hak masyarakat.
Politik kebangsaan yang selama ini disandang NU sudah seharusnya bekerja seoptimal mungkin dalam mengawal berbagai agenda demokratisasi, termasuk proses pelaksanaan pilkada agar tetap berjalan sesuai dengan koridor demokratisasi. Proses pilkada diharapkan bisa berjalan lebih baik, lebih bersih dan lebih menghargai hak-hak publik. Untuk itu, implementasi demokrasi dalam dinamika kebangsaan tidak hanya berjalan secara procedural atau sekedar sebagai symbol belaka. Tetapi lebih prioritas pada demokrasi substansial, agar sistem demokrasi yang dibangun betul-betul dinikmati oleh masyarakat.
Revitalisasi peran politik kebangsaan dengan tetap menjaga citra NU sebagai organisasi yang otonom, sudah harus dipertegas kembali. Membebaskan NU dari berbagai bentuk kooptasi kekuatan politik. Menurut Greg Barton, salah satu upaya yang ditempuh oleh NU dalam merancang kembali visi, misi, dan strategi sebagai upaya revitalisasi peran politiknya (baca; politik kebangsaan) adalah mengkonsentrasikannya pada penguatan demokratisasi dan pemberdayaan umat.
Pilkada sebagai proses kompetisi politik tentu menawarkan berbagai agenda strategis untuk keluar sebegai pemenangnya, tidak heran jika kandidat seringkali tergiur untuk menghalalkan berbagai macam cara. Di sinilah kader-kader NU harus konsisten pada kultur politiknya yang didasarkan pada nilai-nilai aswaja yang lebih menghargai keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), moderat (tawassuth), keadilan (I’tidal) dan ajakan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).
Kompetisi politik hendaknya tidak dipahami semata-mata untuk mengambil alih kekuasaan. Tetap lebih mengedepankan substansi demokrasi yang merupakan pilihan sistem politik. Kekuasaan yang dicapai bukan untuk semata-mata kepentingan golongan tertentu. Menjadikan kekuasaan sebagai media yang paling tepat untuk mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Kekuasaan dalam konteks demokratisasi harus memberikan kesejahteraan kepada pemilik kedaulatan yang sah yaitu rakyat itu sendiri. Itulah sesungguhnya tanggung jawab hakiki NU dalam politik kebangsaan

Senin, 14 Juni 2010

“Sikap Politik” NU dalam Pemilukada

“Sikap Politik” NU dalam Pemilukada
Oleh : Khoirul Huda,S.Ag
Dalam setiap pelaksanaan pilkada, NU selalu menjadi perhatian utama berbagai pihak. Bukan hanya pada peran NU dalam mengawal pelaksanaan pilkada yang lebih berkualitas, tetapi sorotan tajam juga pada NU karena dukungannya pada salah satu kandidat. Terlebih lagi maraknya elit-elit NU termasuk pemimpinnya yang mencalonkan diri sebagai orang nomor satu maupun kedua, yang tentu akan menarik-narik NU (baca; institusi) dalam arus utama politik praktis.
Terlebih lagi pengaruh kultur politik dalam lingkungan NU sendiri cukup kuat. Sejarah panjang NU sebagai partai politik yang sangat disegani oleh rival politiknya, masih mewariskan pengaruh politik yang cukup kuat dan mendasar hingga sekarang. NU dan politik seperti satu kesatuan yang utuh tidak akan bisa dipisahkan satu sama lain. Seiring dengan apa yang pernah dilontarkan oleh KH A Wahab Chasbullah sebagaimana yang dikutip Allan A Samson dalam Karl D Jackson & Lucian W Pye (Eds), Political Power and Communications in Indonesia (1978), bahwa Islam dan politik seperti gula dan manisnya.
Tentu bukan politik praktis sebagaimana layaknya partai politik, karena NU sudah memutuskan untuk kembali ke khittah NU Tahun 1926. Ibarat kereta sudah jelas rel yang harus dilalui. Sayangnya, konsistensi NU dalam mengikuti “rel” khittah NU masih belum sepenuh hati, tanpa disadari sering kali keluar rel yang menyebabkan munculnya masalah baru. Politik kebangsaan dan konsep “rahmatan lil alamin” yang menjadi konsep dan agendanya belum maksimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Justru NU terlihat masih malu-malu ketika berhadapan dengan manuver politik praktis, sama malu-nya pada posisi hubungan NU dengan partai politik termasuk PKB yang nota bene dilahirkan oleh tokoh-tokoh harismatik NU. Sikap tegas NU pada gerakan politik praktis masih terlihat sangat abu-abu. Safari politik yang dilakukan elit-elit NU dalam memberikan dukungan politik pada salah satu kandidat masih jadi tradisi politik yang belum bisa dihindari. Membuktikan betapa NU masih senang bermain dalam wilayah yang penuh kontroversi, meskipun dukungan politik itu sesama kader.
Belum lagi sistem di luar lingkungan yang membawa daya tarik politik yang lebih kuat. Pragmatisme politik yang semakin kuat mempengaruhi para aktivis dan ormas seiring dengan agenda demokrasi yang lebih mengutamakan suara publik. Tidak heran jika Pilkada dan dinamika politik lokal juga semakin kencang menyeret NU yang nota bene sebagai ormas islam dengan massa yang sangat besar.
Namun demikian, harus juga diakui bahwa langkah NU selama ini masih terlihat cantik dalam mengarungi dua kepentingan besar yang bertarung, antara independensi dengan ruang politik praktis. Gaya elit NU jauh dari kesan “kampungan” yang selama ini dipraktekkan oleh para rent seeker dan kelompok pragmatisme. Di samping itu, perbedaan orientasi politik yang terbentuk, tidak membuat NU membangun jarak dengan pihak yang punya ideologi berbeda. NU tetap merawat kebersamaan dengan semua pihak, menumbuhkan kesadaran publik akan pentingnya kebersamaan dalam mengawal keluarga besar bernama Indonesia. Tetap konsisten dalam membangun kesadaran individual (wa’yul-fardiyyah), kesadaran komunal (ukhuwwah nahdliyyah, ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah islamiyyah) sampai pada kesadaran universal (ukhuwwah insaniyyah) demi kepentingan bangsa. Tidak heran jika NU tetap disegani oleh berbagai kalangan. Menjadikannya tidak pernah kehilangan kedawasan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk memahami persoalan secara menyeluruh dan mencarikan alternatif solusi atas kompleksitas problem yang hadir.
Menyikapi Pelaksanaan Pilkada
Pelaksanaan pilkada yang merupakan ekspresi dari proses penguatan sistem demokrasi harus terus berjalan, tidak boleh berhenti di tengah jalan, apalagi harus dikembalikan pada sistem lama, sebagaimana ide beberapa kalangan. Realitas pelaksanaan pilkada yang mengalami banyak penyimpangan, turut mempengaruhi “kegagalan” pilkada dalam memenuhi harapan masyarakat, sebagaimana tujuan sejatinya memberikan kepuasan politik dalam konteks demokratisasi.
Tetapi bagaimanapun juga proses pilkada sekarang ini masih tetap lebih baik dari pada sebelumnya. Dukungan yang sangat besar dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk tokoh-tokoh agama sekalipun. Banyaknya masalah yang terjadi pada pilkada tidak harus membuat kita cepat menarik kesimpulan, dan menganggap pilkada dan gerakan demokratisasi sangat kontraproduktif dengan harapan publik.
Realitas tersebut mengharuskan NU sebagai salah satu kekuatan civil society bertugas memberikan pencerdasan politik dan penguatan sumber daya ekonomi masyarakat melalui serangkaian agenda pemberdayaan. NU juga harus mendorong pelaksanaan demorkasi yang lebih berkualitas, dan meyakinkan kepada berbagai pihak bahwa demorkasi adalah pilihan yang tepat. Karena akhir-akhir ini banyak pihak yang menyangsikan urgensi demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Perjalan panjang demokrasi, mulai dibangun sejak reformasi tahun 1998 sampai sekarang ini demokrasi belum memberikan kesejahteraan pada masyarakat. NU harus mampu menegaskan kepada public bahwa gerakan demokrasi sebagai pilihan bersama, tidak boleh lagi mundur kemudian digantikan dengan sistem lainnya yang belum tentu cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia. Apalagi sampai mengebiri hak-hak masyarakat.
Politik kebangsaan yang selama ini disandang NU sudah seharusnya bekerja seoptimal mungkin dalam mengawal berbagai agenda demokratisasi, termasuk proses pelaksanaan pilkada agar tetap berjalan sesuai dengan koridor demokratisasi. Proses pilkada diharapkan bisa berjalan lebih baik, lebih bersih dan lebih menghargai hak-hak publik. Untuk itu, implementasi demokrasi dalam dinamika kebangsaan tidak hanya berjalan secara procedural atau sekedar sebagai symbol belaka. Tetapi lebih prioritas pada demokrasi substansial, agar sistem demokrasi yang dibangun betul-betul dinikmati oleh masyarakat.
Revitalisasi peran politik kebangsaan dengan tetap menjaga citra NU sebagai organisasi yang otonom, sudah harus dipertegas kembali. Membebaskan NU dari berbagai bentuk kooptasi kekuatan politik. Menurut Greg Barton, salah satu upaya yang ditempuh oleh NU dalam merancang kembali visi, misi, dan strategi sebagai upaya revitalisasi peran politiknya (baca; politik kebangsaan) adalah mengkonsentrasikannya pada penguatan demokratisasi dan pemberdayaan umat.
Pilkada sebagai proses kompetisi politik tentu menawarkan berbagai agenda strategis untuk keluar sebegai pemenangnya, tidak heran jika kandidat seringkali tergiur untuk menghalalkan berbagai macam cara. Di sinilah kader-kader NU harus konsisten pada kultur politiknya yang didasarkan pada nilai-nilai aswaja yang lebih menghargai keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), moderat (tawassuth), keadilan (I’tidal) dan ajakan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).
Kompetisi politik hendaknya tidak dipahami semata-mata untuk mengambil alih kekuasaan. Tetap lebih mengedepankan substansi demokrasi yang merupakan pilihan sistem politik. Kekuasaan yang dicapai bukan untuk semata-mata kepentingan golongan tertentu. Menjadikan kekuasaan sebagai media yang paling tepat untuk mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Kekuasaan dalam konteks demokratisasi harus memberikan kesejahteraan kepada pemilik kedaulatan yang sah yaitu rakyat itu sendiri. Itulah sesungguhnya tanggung jawab hakiki NU dalam politik kebangsaan
 
. © 2007 Template feito por Templates para Você